SEJARAH PERKEMBANGAN TASAWUF
DI INDONESIA DAN TOKOHNYA
Makalah
Di susun untuk memenuhi tugas mata kuliah Akhlak Tasawuf yang diampu oleh Bapak Moch.Cholid Wardi

Disusun oleh :
Dwi Fitriyanti 20170703032055
Nur Aisyah 20170703032140
Nurul Fadilah 20170703032143
Rr.Nurwidya Yulinar CT 20170703032161
Shinta Dwinur Sutansyah 20170703032168
PROGRAM STUDI EKONOMI SYARIAH
JURUSAN EKONOMI DAN BISNIS
SEKOLAH TINGGI AGAMA
ISLAM NEGERI PAMEKASAN
2017
Kata Pengantar
Pertama-tama perkenankanlah
kami selaku penyusun makalah ini mengucapkan puji syukur kepada Tuhan Yang Maha
Esa sehingga kami dapat menyusun makalah ini dengan judul “Sejarah Perkembangan Tasawuf
di Indoesia dan Tokohnya ”.
Ucapan terima kasih dan puji
syukur kami sampaikan kepada Allah dan semua pihak yang telah membantu
kelancaran, memberikan masukan serta ide-ide untuk menyusun makalah ini.
Kami selaku penyusun telah
berusaha sebaik mungkin untuk menyempurnakan makalah ini, namun tidak mustahil
apabila terdapat kekurangan maupun kesalahan. Oleh karena itu kami memohon
saran serta komentar yang dapat kami jadikan motivasi untuk menyempurnakan
pedoman dimasa yang akan datang.
Pamekasan, 30 Novenber 2017
penulis
Daftar
Isi
DaftarIsi....................................................................................................................
BAB 1 PENDAHULUAN…………………………………………………………
a. Latar belakang …………………………………………………………
b. Rumusan masalah………………………………………………………
c. Tujuan masalah………………………………………………………...
BAB 2
PEMBAHASAN ………………………………………………………….
a. Sejarah Tasawuf di Indonesia ……………………………………........
b. Tokoh-tokoh Tasawuf di
Indonesia …………………………………...
BAB 3
PENUTUP
………………………………………………………………..
a. Kesimpulan ……………………………………………………………
DAFTAR
PUSTAKA …………………………………………………………….
BAB 1
- Latar Belakang
Penyebaran Islam yang berkembang secara spektakuler di
indonesia berkat peranan dan kontribusi tokoh-tokoh tasawuf adalah kenyataan
yang diakui oleh hampir mayoritas sejarawan dan peneliti. Hal itu disebabkan
oleh sifat-sifat dan sikap kaum sufi yang lebih kompromis dan penuh kasih
sayang.
Terdapat kesepakatan dikalangan sejarawan dan peneliti,
orientalis, dan cendikiawan Indonesia bahwa tasawuf adalah faktor terpenting
bagi tersebarnya Islam secara luas.
B. Rumusan
Masalah
1. Apa
pengertian sejarah tasawuf di Indonesia?
2. Siapa saja
tokoh-tokoh tasawuf di Indonesia dan ajarannya? Jelaskan!
C. Tujuan
Masalah
1. Untuk
mengetahui sejarah tasawuf di Indonesia
2. Untuk
mengetahui tokoh-tokoh tasawuf di Indonesia
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Sejarah
tasawuf di Indonesia
Perkembangan tasawuf di Indonesia, tidak lepas dari pengkajian
proses islamisasi dikawasan ini. Sebab, sebagian besar penyebaran Islam di
Nusantara merupakan jasa para sufi. Hal ini menunjukkan bahwa pengikut tasawuf
merupakan unsur yang cukup dominan dalam masyarakat pada masa itu.[1]
Sejak berdirinya kerajaan Islam Pasai, kawasan Pasai menjadi titik
sentral penyiaran agama Islam ke berbagai daerah di Sumatera dan pesisir utara
Pulau Jawa. Islam tersebar di tanah Minangkabau atas upaya Syekh Burhanuddin
Ulakan (Syekh Tarekat Syattariyah). Sampai sekarang, kebesaran nama Syekh dari
Ulakan tetap diabadikan masyarakat pesisir Minangkabau melalui upacara “basapa”
pada setiap bulan Safar. Penyebaran Islam ke Pulau Jawa, juga berasal
dari kerajaan Pasai, terutama atas jasa Maulana Malik Ibrahim, Maulana Ishak,
dan Ibrahim Asmuro.[2]
Perkembangan Islam di tanah Jawa selanjutnya digerakkan oleh Wali
Songo atau Wali Sembilan. Sebutan ini sudah cukup menunjukkan bahwa
mereka adalah penghayat tasawuf yang sudah sampai derajat “wali”. Para wali
bukan saja berperan sebagai penyiar Islam, melainkan mereka juga ikut berperan
kuat pada pusat kekuasaan kesultanan. Karena posisi itu, mereka mendapat gelarSusuhunan
yang biasa disebut Sunan. Dari peranan politik itu, mereka dapat “meminjam”
kekuasaan sultan dan kelompok elite keraton dalam menyebarkan dan memantapkan
penghayatan Islam sesuai dengan keyakinan sufisme yang mereka anut.
Warna sufisme yang kental juga terlihat dari nilai anutan
mereka yang didominasi sufisme aliran al-Ghazali. Buku-buku karangan al-Ghazali
menjadi sumber bacaan sufisme yang paling digemari dan pada umumnya
memuat pokok bahasan tasawuf akhlak dan tasawuf amali. Pengaruh tasawuf falsafi
cukup kuat dan luas penganutnya dikalangan penganut tarekat. Sedangkan tokohnya
yang paling populer pada masa itu adalah Syekh Siti Jenar. Semenjak penyiaran
Islam di Jawa diambil alih oleh kerabat elite keraton, secara perlahan-lahan
terjadi proses akulturasi sufisme dengan kepercayaan lama dan tradisi
lokal, yang berakibat bergesernya nilai keislaman sufisme karena
tergantikan oleh model spiritualis nonreligius.[3]
B.
Tokoh-Tokoh
Tasawuf di Indonesia
Ada
banyak sekali tokoh-tokoh tasawuf di Indonesia. Ada beberapa lima tokoh yang
paling dikenal, diantaranya adalah:
1.
Hamzah
Al-Fansuri
Hampir semua penulis sejarah islam mencatat bahwa Syekh Hamzah al-Fansuri
dan muridnya Syekh Syamsuddin as-Sumatrani termasuk tokoh sufi yang sepaham
dengan al-Hallaj. Syekh Hamzah al-Fansuri diakui sebagai salah seorang pujangga
Islam yang sangat populer pada zamannya. Namanya tercatat sebagai seorang kaliber
besar dalam perkembangan Islam di Nusantara dari abadnya hingga ke abad kini.[4]
Beliau adalah seorang ulama’ yang cerdas dan menguasai dengan baik
bahasa Arab, Persi, Jawa, Melayu, Aceh, Siam dan Urdu. Beliau banyak melakukan
pengembaraan ke berbagai Negara dan tempat di kepulauan Nusantara, Semenanjung
Melayu, Siam, India, Persia dan Arab.
Menurut para ahli, beliau adalah sebagai perintis bahasa Melayu
dalam bidang sastra tulis. Melalui beliau inilah bahasa Melayu terangkat tinggi
sehingga disebut sebagai Bapak Bahasa dan Sastra Melayu. Beliau juga adalah
orang yang pertama kali menciptakan syair dan pantun.[5]
Syekh Hamzah Fansuri adalah penganut faham Wahdatul Wujud.
Faham Wahdatul Wujud inilah yang mengakibatkan beliau dan muridnya,
Syekh Syamsuddin Sumatrani mendapatkan tantangan keras dari ulama’-ulama’
syari’at, terutama oleh Syekh Nuruddin ar Raniri karena menganut faham nilai
beliau dicap sebagai orang yang zindiq, sesat, kafir, dan sebagainya. Selain
menganut faham Wahdatul Wujud, ijttihad dan hulul dalam bidang tashawwuf,
beliaupun dikatakan juga sebagai penganut syi’ah dalam aqidah. Syekh Hamzah
Fansuri sangat giat dalam menyebarkan dan mengembangkan thariqat ke berbagai
negeri. Beliau pernah sampai ke berbagai negeri di Timur Tengah utamanya Mekkah
dan Madinah. Begitu pula dengan negeri-negeri di Nusantara pernah dijelajahi,
seperti Pahang, Kedah, Banten, Jawa dan sebagainya. Bahkan ada yang mengatakan
pernah sampai ke seluruh Semenanjung dan memperkembangkan tashawwuf itu di
negeri Perak, Perlis, Kelantan, Trengganu dan lain-lain.[6]
Disamping giat menyebarkan tashawwuf ke berbagai pelosok negeri,
beliaupun giat menulis baik dalam bentuk puisi maupun prosa. Pengaruh dari
karya Syekh Hamzah Fansuri memang luar biasa besarnya. Karena itu, karya-karya
beliau baik yang berbentuk puisi maupun prosa banyak mendapat perhatian para
sarjana maupun orentalis barat. Demikian perjuangan Syekh Hamzah Fansuri dalam
menyebarkan ilmu pengetahuan dan faham yang diyakininya di tengah-tengah
masyarakat sampai akhir hayatnya. Dan hingga sekarang kuburnya tidak diketahui.[7]
2.
Syamsuddin
Al-Sumatrani
Syamsuddin
Sumatrani adalah putra seorang ulama Aceh terkenal yang bernama Syekh Abdullah
as Sumatrani.[8]
Pemikiran tasawufnya Syamsuddin al-Sumatrani membahas tentang martabat tujuh
dan dua puluh sifat Tuhan. Konsep martabat tujuh ini pertama kali dicetuskan
oleh Muhammad Ibn Fadlullah al-Burhanpuri seorang ulama kelahiran India.[9]
Beliau
mendapatkan pendidikan dari tokoh shufi pada masa itu, yaitu Syekh Hamzah
Fansuri di Aceh dan kemudian beliau melanjutkan pendidikannya di Pulau Jawa
dimana pada saat itu agama Islam sudah berkembang pesat berkat perjuangan gigih
dari para Walisongo. Syamsuddin Sumatrani sangat giat mempelajari ilmu
keislaman terutama ilmu tashawwuf. Terbukti dari guru-guru yang beliau pilih
adalah para tokoh ahli tashawwuf. Baik Syekh Hamzah Fansuri maupun Syekh
Maulana Makdum Ibrahim adalah para ulama’ ahli tashawwuf yang cukup terkenal
ketika itu. Meskipun keduanya berbeda aliran dalam tashawwufnya dan faham yang
dianutnya.[10]
Setelah beliau
menamatkan pelajarannya dan kembali ke kampung halamannya Aceh, nampaknya
beliau langsung mendapat tempat pada posisi yang terbaik di Kerajaan Aceh.
Beliau di percaya memangku jabatan “Perdana Menteri” di Kerajaan Aceh.
Disamping itu, beliau juga termasuk seorang pujangga Islam Indonesia yang kedua
setelah Syekh Hamzah Fansuri. Disamping beliau disibukkan dalam kegiatan
pemerintahan Kerajaan Aceh, beliau tetap giat menyebarkan dan mengembangkan tashawwuf
dengan mengajar dan menulis. Tashawwuf yang diajarkan dan dikembangkan oleh
Syekh Syamsuddin Sumatrani tidak berbeda dengan gurunya Syekh Hamzah Fansuri,
yaitu faham Wahdatul Wujud, hulul, ittihad dan sebangsanya. Karena faham inilah
beliau banyak mendapat kecaman dari berbagai kalangan.[11]
Jumlah
keseluruhan karya Syekh Syamsuddin Sumatrani keseluruhan yang diketahui ada 18
kitab. Dari karya-karya beliau ini Nampak sekali keluasan dan kedalaman ilmu
beliau, sehingga beliau menjadi seorang ulama’ yang disegani baik lawan maupun
kawan. Sewaktu beliau wafat pada tanggal 12 Rajab 1039 H / 1619 M. ada yang
mengatakan beliau wafat tahun 1661 M. Syekh Nuruddin ar Raniri menulis
pengakuan tentang kealiman beliau dalam kitabnya yang bernama Bustanus Salatin.[12]
3.
Nuruddin
Ar-Raniri
Ar-Raniri dilahirkan di Ranir, sebuah kota pelabuhan tua di Pantai
Gujarat, India. Pendidikan pertamanya diperoleh di Ranir kemudian dilanjutkan
ke wilayah Hadramaut. Menurut catatan Azyumardi Azra, ar-Raniri merupakan tokoh
pembaruan di Aceh. Ia mulai melancarkan pembaruan Islamnya di Aceh setelah
mendapat pijakan yang kuat di istana Aceh. Pembaruan utamanya adalah
memberantas aliran Wujudiyyah yang dianggap sebagai aliran sesat. ar-Raniri
dikenal pula sebagai seorang syekh Islam yang mempunyai otoritas untuk
mengeluarkan fatwa menentang aliran Wujudiyyah ini.[13]
Menurutnya, pendapat Hamzah al-Fansuri tentang Wahdat Al-Wujud dapat
membawa pada kekafiran. Ar-Raniri berpandangan bahwa jika benar Tuhan dan
makhluk hakikatnya satu, dapat dikatakan bahwa manusia adalah Tuhan dan Tuhan
adalah manusia, dan jadilah seluruh makhluk itu adalah Tuhan. Semua yang
dilakukan manusia, baik buruk maupun baik, Allah SWT. turut serta melakukannya.
Jika demikian halnya, manusia mempunyai sifat-sifat Tuhan. Pemisahan antara
syariat dan hakikat, menurut ar-Raniri, merupakan sesuatu yang tidak benar.
Untuk menguatkan argumentasinya, ia mengajukan beberapa pendapat pemuka sufi,
di antaranya adalah Syekh Abdullah al-Aidarusi yang menyatakan bahwa tidak ada
jalan menuju Allah SWT., kecuali melalui syariat yang merupakan pokok dan
cabang Islam.[14]
Pendirian ar-Raniri dalam masalah ketuhanan pada umumnya bersifat
kompromis. Ia berupaya menyatukan paham Mutakallimin dengan paham para
sufi yang diwakili Ibnu Arabi. Pandangan ar-Raniri hampir sama dengan Ibnu
Arabi bahwa alam ini merupakan tajalli Allah SWT. Akan tetapi,
tafsirannya membuatnya terlepas dari label panteisme Ibnu Arabi. Ar-Raniri
berpandangan bahwa alam ini diciptakan Allah SWT. melaluitajalli. Ia
menolak teori al-faidh (emanasi) al-Farabi karena membawa pada pengakuan
bahwa alam ini qadim sehingga dapat jatuh pada kemusyrikan.[15]
Gema pemikiran ar-Raniri sampai juga ke daerah Nusantara lainnya
sehingga buku-bukunya banyak dipelajari orang. Pemikiran-pemikiran tasawuf
Nuruddin ar-Raniri banyak diterima dan dipelajari oleh Sultan Iskandar Tsani
sehingga kebijakan Nuruddin mengeluarkan fatwa “kufur” kepada wujudiyah
ternyata didukung oleh sultan.[16]
Pemikiran ar-Raniri tersebut ternyata berpengaruh besar ke seluruh Nusantara
sehingga peranan Nuruddin ar-Raniri dalam perkembangan Islam di wilayah Melayu
Indonesia. Kehadiran Nuruddin ar-Raniri harus diakui telah berhasil mematahkan
pemikiran wujudiyah-nya Syamsuddin al-Sumatrani.[17]
4.
Abdur
Rauf as-Sinkili
Syekh Abdur Rauf Bin Ali Fansuri adalah
seorang penyebar pertama thariqat Syathariyah di Indonesia. Beliau adalah murid
dari Syekh Shafiuddin Ahmad ad-Dajjani al-Qusysyi, seorang guru besar shufi di
Mekkah dan juga murid dari Syekh Ibrahim Al Kurani, seorang guru besar di Madinah.[18]
Sebelum as-Sinkili membawa ajaran tasawufnya, di Aceh telah
berkembang ajaran tasawuf falsafi, yaitu tasawuf Wujudiyyah yang kemudian
dikenal dengan namaWahdat Al-Wujud. Ajaran tasawuf Wujudiyyah ini
dianggapnya sebagai ajaran sesat dan penganutnya dianggap sudah murtad. as-Sinkili
berusaha merekonsiliasi antara tasawuf dan syariat. Ajaran Tasawufnya sama
dengan Syamsuddin dan Nuruddin, yaitu menganut paham satu-satunya wujud hakiki,
yaitu Allah SWT., sedangkan alam ciptaan-Nya bukanlah merupakan wujud hakiki,
melainkan bayangan dari yang hakiki. Menurutnya, jelaslah bahwa Allah SWT.
berbeda dengan alam. Walaupun demikian, antara bayangan (alam) dan yang
memancarkan bayangan (Allah) tentu terdapat keserupaan. Sifat-sifat manusia
adalah bayangan Allah SWT., seperti yang hidup, yang tahu, dan yang melihat.
Pada hakikatnya, setiap perbuatan adalah perbuatan Allah SWT.[19]
Ajaran tasawuf al-Sinkli yang lain adalah bertalian dengan martabat
perwujudan. Syekh Abdul Rauf al-Sinkili, dalam segi lain sering dipandang
sebagai penganjur Tarekat syatariyat yang menilai banyak murid di Nusantara.
Pemahaman Abdul Rauf terhadap konsep martabat tujuh terletak pada posisi Tuhan
terhadap ciptaan-Nya. Ia lebih menekankan aspek imanensi yang menurut, sebagai
paham kaum Wujudiyah.[20]
Para penyebar thariqat Syathariyyah yang semuanya berpuncak pada
Syekh Abdur Rauf Bin Ali Fansuri wafat boleh dikatakan tiada lagi generasi
pelanjutnya. Namun thariqat ini pengaruhnya tetap ada hingga saat ini.[21]
5.
Yusuf
al-Makasari
Syekh Yusuf al-Makasari
adalah seorang tokoh sufi agung yang berasal dari Sulawesi. Naluri fitrah
pribadi Syekh Yusuf sejak kecil telah menampakkan bahwa ia cinta akan
pengetahuan keislaman. Dalam tempo relatif singkat, ia tamat mempelajari al-Qur’an
30 juz.[22]
Pada masa Syekh
Yusuf, memang hampir setiap orang lebih menggemari ilmu tasawuf. Syekh Yusuf
pernah melakukan perjalanan ke Yaman. Di Yaman, ia menerima tarekat dari
syekhnya yang terkenal, yaitu Syekh Abi Abdullah Muhammad Baqi Billah. Semua
tarekat yang telah dipelajari Syekh Yusuf mempunyai silsilah yang bersambung
hingga kepada Nabi Muhammad SAW. Akan tetapi, semua silsilah itu belum
ditemukan, kecuali silsilah Naqsabandiyah yang terdapat pada salah satu
tulisan tangannya.[23]
Syekh Yusuf mengungkapkan
paradigma sufistiknya bertolak dari asumsi dasar bahwa ajaran Islam meliputi
dua aspek, yaitu: aspek lahir (syariat) dan aspek batin (hakikat). Syariat dan
hakikat harus dipandang dan diamalkan sebagai satu kesatuan. Syekh Yusuf
menggarisbawahi bahwa proses ini tidak akan mengambil bentuk kesatuan wujud
antara manusia dengan Tuhan.[24]
Kalau ajaran Abdul
Rauf singkat ialah boleh dikatakan tidak mempunyai paham atau ajaran yang
tersendiri. Dalam masalah keagamaan, beliau mengikuti paham Ahlussunnah
Waljama’ah dan khusus dalam bidang fikih beliau adalah pengikut syafi’iyah,
sedangkan dalam tasawuf mengikuti thariqat syattariyah dan paham-paham
ini pulalah yang ia sebarkan dalam semua kegiatan dakwahnya.[25]
Meskipun berpegang teguh pada
transedensi Tuhan, ia meyakini bahwa Tuhan melingkupi segala sesuatu dan selalu
dekat dengan sesuatu. Mengenai hal ini,Syekh Yusuf mengembangkan istilah ihathah(peliputan)
dan al-ma’iyyah(kesertaan). Kedua istilah itu menjelaskan bahwa Tuhan
turun (tanazul), sementara manusia naik (taraqi), suatu proses
spiritual yang membawa keduanya semakin dekat. Syekh Yusuf menggarisbawahi
bahwa proses ini tidak akan mengambil bentuk kesatuan wujud antara manusia dan
Tuhan. Syekh Yusuf berbicara pula tentang insan kamil dan proses
penyucian jiwa. Ia mengatakan bahwa seorang hamba akan tetap hamba walaupun
telah naik derajatnya, dan Tuhan akan tetap Tuhan walaupun turun pada diri
hamba. Menurutnya, kehidupan dunia bukanlah untuk ditinggalkan dan hawa nafsu
harus dimatikan.[26]
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
1. Perkembangan tasawuf di Indonesia, tidak lepas dari pengkajian
proses islamisasi dikawasan ini. Sebab, sebagian besar penyebaran Islam di
Nusantara merupakan jasa para sufi. Hal ini menunjukkan bahwa pengikut tasawuf
merupakan unsur yang cukup dominan dalam masyarakat pada masa itu. Perkembangan
Islam di tanah Jawa selanjutnya digerakkan oleh Wali Songo atau Wali
Sembilan. Para wali bukan saja berperan sebagai penyiar Islam, melainkan
mereka juga ikut berperan kuat pada pusat kekuasaan kesultanan.
2. Tokoh-tokoh tasawuf di Indonesia
a. Hamzah Al-Fansuri
Menurut para ahli, beliau adalah sebagai perintis bahasa Melayu
dalam bidang sastra tulis. Melalui beliau inilah bahasa Melayu terangkat tinggi
sehingga disebut sebagai Bapak Bahasa dan Sastra Melayu. Beliau juga adalah
orang yang pertama kali menciptakan syair dan pantun.
b. Syamsuddin al-Sumatrani
Jumlah keseluruhan karya Syekh Syamsuddin Sumatrani keseluruhan
yang diketahui ada 18 kitab. Dari karya-karya beliau ini nampak sekali keluasan
dan kedalaman ilmu beliau, sehingga beliau menjadi seorang ulama’ yang disegani
baik lawan maupun kawan.
c.
Nuruddin
ar-Raniri
Ar-Raniri dikenal pula sebagai seorang syekh Islam yang mempunyai
otoritas untuk mengeluarkan fatwa menentang aliran Wujudiyyah ini. Ar-Raniri
berpandangan bahwa jika benar Tuhan dan makhluk hakikatnya satu, dapat
dikatakan bahwa manusia adalah Tuhan dan Tuhan adalah manusia, dan jadilah
seluruh makhluk itu adalah Tuhan. Semua yang dilakukan manusia, baik buruk
maupun baik, Allah SWT. turut serta melakukannya. Jika demikian halnya, manusia
mempunyai sifat-sifat Tuhan.
d.
Abdur
Rauf as-Sinkili
As-Sinkili berusaha merekonsiliasi antara tasawuf dan syariat. Menurutnya,
jelaslah bahwa Allah SWT. berbeda dengan alam. Walaupun demikian, antara
bayangan (alam) dan yang memancarkan bayangan (Allah) tentu terdapat
keserupaan. Sifat-sifat manusia adalah bayangan Allah SWT., seperti yang hidup,
yang tahu, dan yang melihat. Pada hakikatnya, setiap perbuatan adalah perbuatan
Allah SWT.
e.
Yusuf
al-Makasari
Syekh Yusuf mengungkapkan paradigma sufistiknya bertolak dari
asumsi dasar bahwa ajaran Islam meliputi dua aspek, yaitu: aspek lahir
(syariat) dan aspek batin (hakikat). Syariat dan hakikat harus dipandang dan
diamalkan sebagai satu kesatuan. Syekh Yusuf menggarisbawahi bahwa proses ini
tidak akan mengambil bentuk kesatuan wujud antara manusia dengan Tuhan.
DAFTAR PUSTAKA
Anwar, Rosihon,
Akhlak Tasawuf, (Bandung: Pustaka Setia,2010)
Nasution
Bangun, Ahmad dan Sinegar Hanum, Rayani, Akhlak Tasawuf, (Jakarta:
RajaGrafindo Persada,2013)
Asrifin, Tokoh-tokoh
Shufi,(Surabaya: Karya Utama)
[1]
Rosihon Anwar, Akhlak Tasawuf, (Bandung: Pustaka Setia, 2010), hlm. 337.
[2]
Ibid, hlm. 338.
[3]
Ibid, hlm. 338-339.
[4]
Ibid, hlm. 340.
[5]
Asrifin, S.Ag, Tokoh-Tokoh Shufi, (Surabaya: Karya Utama), hlm 256
[6]
Ibid, hlm. 257.
[7]
Ibid, hlm. 258-259.
[8]
Ibid, hlm. 259.
[9]
Ahmad Bangun Nasution dan Rayani Hanum Siregar, Akhlak Tasawuf, (Jakarta:
RajaGrafindo Persada,2013), hlm. 65.
[10]
Asrifin,Tokoh-Tokoh Shufi, hlm. 256.
[11]
Ibid, hlm. 261.
[12]
Ibid, hlm. 262-263.
[13]
Rosihon Anwar, Akhlak Tasawuf, hlm. 344.
[14]
Ibid, hlm. 346.
[15]
Ibid, hlm. 345.
[16]
Ahmad Bangun Nasution dan Rayani Hanum Siregar, Akhlak Tasawuf, hlm. 65.
[17]
Ibid, hlm. 66.
[18]
Asrifin, Tokoh-Tokoh Shufi, hlm. 263.
[19]
Rosihon Anwar, Akhlak Tasawuf, hlm. 348.
[20]
Ahmad Bangun Nasution dan Rayani Hanum Siregar, Akhlak Tasawuf, hlm. 67.
[21]
Asrifin, Tokoh-Tokoh Shufi, hlm. 264.
[22]
Rosihon Anwar, Akhlak Tasawuf, hlm. 349.
[23]
Ibid, hlm. 350.
[24]
Ahmad Bangun Nasution dan Rayani Hanum Siregar, Akhlak Tasawuf, hlm. 68.
[25]
Ibid, hlm. 68-69.
[26]
Rosihon Anwar, Akhlak Tasawuf, hlm. 352.